Sabtu, 20 Juni 2015

Tokoh Muhammadiyah



Tokoh Muhammadiyah
“K.H Ibrahim”
A.    Kepribadian
Kyai Haji Ibrahim lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta, pada 7 mei 1974.  Ia adalah ketua umum Muhammadiyah yang kedua yang menggantikan K.H Ahmad Dahlan. K.H. Ibrahim adalah putra dari K.H. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Negeri Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sri Sultan Hamengkubuwono VII, dan ia adalah adik kandung dari Nyai Ahmad Dahlan. K.H. Ibrahim adalah ulama yang hafal Al-Quran (hafidz), ahli seni baca Al-Quran (qira'at), serta mahir dalam bahasa Arab. Pada periode kepemimpinannya, cabang-cabang Muhammadiyah banyak didirikan di berbagai tempat di Indonesia.
K.H Ibrahim menikah dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman alias Djojotaruno (Soeja`. 1933:228) pada tahun 1904. Pernikahannya dengan Siti Moechidah ini tidak berlangsung lama, karena istrinya wafat. K.H. Ibrahim kemudian menikah dengan Moesinah, putri bungsu dari KH. Abdulrahman dan adik kandung dari Siti Moechidah. Moesinah berusia cukup panjang yaitu sampai 108 tahun, dan meninggal pada 9 September 1998.
Masa kecil Ibrahim dilalui dalam asuhan orang tuanya dengan diajarkan mengkaji al-Qur'an sejak usia 5 tahun. Ia juga dibimbing memperdalam ilmu agama oleh kakak tertuanya sendiri, yaitu KH. M. Nur. Ia menunaikan ibadah haji pada usia 17 tahun, dan dilanjutkan pula menuntut ilmu di Mekkah selama lebih kurang 7-8 tahun. Pada tahun 1902, ia pulang ke tanah air karena ayahnya sudah lanjut usia.
B.     Kepemimpinan 
Setibanya di tanah air dari menuntut ilmu di Mekkah, KH. Ibrahim mendapat sambutan yang baik dari masyarakat, dan banyak orang mengaji kepadanya. Pengajian yang diasuh KH. Ibrahim memakai metode sorogan dan weton. Sorogan adalah mengaji dengan diajar satu per satu, terutama untuk anak-anak muda yang ada di Kauman pada saat itu; sedangkan weton adalah kyai membaca sedang santri-santrinya mendengarkan dengan memegang kitabnya masing-masing. Pengajian dilaksanakan setiap hari, kecuali hari Jum`at dan Selasa. Dalam menerapkan dua macam metode tersebut dipakai waktu yang berbeda, yaitu pada pagi hari mulai pukul 07.00 sampai 09.00 dengan cara sorogan, dan pada sore hari sesudah ashar sampai kurang lebih pukul 17.00 dengan cara weton.
Sebelum KH. Ahmad Dahlan wafat, ia berpesan agar kepemimpinan Muhamadiyah sepeninggalnya diserahkan kepada Kiai Haji Ibrahim. Mula-mula KH. Ibrahim menyatakan tidak sanggup, atas desakan sahabat-sahabatnya akhirnya ia bersedia menerimanya. Kepemimpinannya dalam Muhammadiyah dikukuhkan pada bulan Maret 1923 dalam Rapat Tahunan Anggota Muhammadiyah sebagai Voorzitter Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia Timur (Soedja`, 1933: 232).
Semenjak kepemimpinan KH. Ibrahim, Muhammadiyah berkembang di seluruh Indonesia, dan terutama tersebar di berbagai tempat Jawa dan Madura. Kongres-kongres mulai diselenggarakan di luar kota Yogyakarta, seperti Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, Kongres Muhammadiyah ke-17 di Solo, Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi, Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar, dan Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang pada tahun 1933 (Kongres Muhammadiyah terakhir dalam periode kepemimpinan KH. Ibrahim). Dengan berpindah-pindahnya tempat kongres tersebut, maka Muhammadiyah mengalami perkembangan yang sangat pesat, bahkan cabang-cabang Muhammadiyah telah berdiri hampir di seluruh tanah air di bawah kepemimpinannya.
Menurut catatan AR Fachruddin (1991), pada masa kepemimpinan KH. Ibrahim, kegiatan-kegiatan yang dapat dikatakan menonjol, penting dan patut dicatat adalah:
1.      Pada tahun 1924, Ibrahim mendirikan Fonds Dachlan yang bertujuan membiayai sekolah untuk anak-anak miskin. Pada tahun 1925, ia juga mengadakan khitanan massal. Di samping itu, ia juga mengadakan perbaikan badan perkawinan untuk menjodohkan putra-putri keluarga Muhammadiyah. Dakwah Muhammadiyah juga secara gencar disebarluaskan ke luar Jawa (AR Fachruddin, 1991).
2.      Pada periode kepemimpinan Ibrahim, Muhammadiyah sejak tahun 1928 mengirim putra-putri lulusan sekolah-sekolah Muhammadiyah (Mu`allimin, Mu`allimat, Tabligh School, Normaalschool) ke seluruh pelosok tanah air, yang kemudian di kenal dengan 'anak panah Muhammadiyah' (AR Fachruddin, 1991).
3.      Pada Kongres Muhammadiyah di Solo pada tahun 1929, yaitu pada masa kepemimpinannya, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My, yaitu badan usaha penerbit buku-buku sekolah Muhammadiyah yang bernanung di bawah Majelis Taman Pustaka. Pada waktu itu pula terjadi penurunan gambar Ahmad Dahlan karena pada saat itu ada gejala mengkultuskan dia. Sementara dalam Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar pada tahun 1932 memutuskan supaya Muhammadiyah menerbitkan surat kabar (dagblaad). Untuk pelaksanaannya diserahkan kepada Pengurus Muhammadiyah Cabang Solo, yang di kemudian hari dinamakan Adil.
4.      KH. Ibrahim selalu terpilih kembali sebagai ketua dalam dalam sepuluh kali Kongres Muhammadiyah selama periode kepemimpinannya. Ia lebih banyak memberikan kebebasan gerak bagi angkatan muda untuk mengekspresikan aktivitasnya dalam gerakan dakwah Muhammadiyah. Di samping itu, ia juga berhasil dalam membimbing gerakan Aisyiyah untuk semakin maju, tertib, dan kuat. Ia juga berhasil dalam meningkatkan kualitas takmirul masajid (pengelolaan masjid-masjid), serta berhasil pula dalam mendorong berdirinya Koperasi Adz-Dzakirat.
5.      Dalam masa kepemimpinannya, Muhammadiyah pernah mengalami fitnah dari pihak-pihak yang tidak suka akan kemajuan Muhammadiyah. Muhammadiyah dan pengurus besarnya dianggap sebagai kaki tangan Politieke Economische Bond (PEB), sebuah organisasi yang dibentuk oleh persatuan pabrik gula yang dimiliki Belanda. Tujun PEB ialah untuk mengatur koordinasi dan kerjasama antar-pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam produksi, pemasaran, dan juga dalam aspek sosial-budaya yang ada hubungannya dengan politik-ekonomi pabrik gula. PEB mendirikan perkumpulan dengan nama Jam'iyatul Hasanah yang bertujuan untuk menghimpun guru-guru agama dan membiayai mereka untuk mengajarkan agama Islam kepada buruh-buruh di pabrik gula. Dengan demikian, fitnahan terhadap Pengurus Besar Muhammadiyah semakin besar karena Pengurus Besar Muhammadiyah dianggap telah bekerjasama dan menerima dana dari PEB yang merupakan kaki-tangan Belanda. Namun fitnahan tersebut bisa diatasi dengan keterbukaan dalam kepemimpinan KH. Ibrahim dengan mengundang para utusan dari cabang-cabang Muhammadiyah untuk memeriksa keuangan dan notulensi rapat di Pengurus Besar Muhammadiyah di Yogyakarta, dan terbukti bahwa fitnahan tersebut tidak benar.
6.      Pada periode kepemimpinan KH. Ibrahim telah diselenggarakan sepuluh kali Rapat Tahunan Muhammadiyah yang terus-menerus memilihnya sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Mulai tahun 1926, istilah Rapat Tahunan Muhammadiyah diganti menjadi Kongres Muhammadiyah yang bertempat di Surabaya sebagai Kongres Muhammadiyah ke-5.
C.    Keteladanan
K.H Ibrahim berpenampilan santun, dengan senantiasa mengenakan jubah panjang dan sorban, K.H Ibrahim dikenal sebagai ulama besar dan berilmu tinggi. Itu antara lain terlihat dari antusiasme masyarakat yang menyambut Ibrahim sepulang dari Tanah Suci Mekah. Banyak orang yang berduyun-duyun untuk mengaji kehadapan dirinya. Ia termasuk seorang ulama yang cerdas, luas wawasannya, sangat dalam ilmu nya dan disegani. Ia hafal Al-Quran dan ahli qira’ah (seni baca Al-Quran). Serta mahir berbahasa Arab.
Tak heran bila ia kemudian sangat dikagumi oleh banyak orang karena keahlian dan kefasihannya dalam penghafalan Al-Quran dan bahasa Arab. Pernah orang dibuatnya terkagum-kagum dan takjub ketika dalam  pidato pembukaan (khutbah al’arsy atau sekarang disebut khutbah iftitah) kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukit Tinggi, Sumatera Barat pada 1939,  ia menyampaikannya dalam bahasa arab yang fasih.
Sebagai seorang ulama, K.H Ibrahim selalu padat dengan aktifitas dakwah dan ceramah keagamaan. Di  luar aktifitas dakwahnya, ternyata K.H Ibrahim bersemangat mengorganisasi kaum ibu Muhammadiyah. Ia misalnya memimpin kaum ibu supaya rajin beramal dan beribadah, selalu mengingat Allah, rajin mengerjakan perintah Islam. Perkumpulan amar ma’ruf nahi munkar itu diberi nama Adz-Dzakiraat. Perkumpulan Adz-Dzakiraat ini banyak memberikan jasa kepada Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, seperti kerap membantu pencarian dana untuk Kas Muhammadiyah, ‘Aisyiyah, PKU, Bagian Tabligh, dan bagian Taman Poestaka. Pengajian yang diasuh K.H Ibrahim itu memakai metode sorogan dan weton. Pengajian dilaksanakan setiap  hari, kecuali hari Jum’at dan Selasa.

Akhir Hidupnya
KH. Ibrahim wafat dalam usia yang masih sangat muda, 46 tahun, pada awal tahun 1934 setelah menderita sakit agak lama. Di bawah kepemimpinannya, Muhammadiyah mengalami perkembangan yang sangat pesat, bahkan pada Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang pada tahun 1933 (Kongres Muhammadiyah terakhir dalam periode kepemimpinan K.H Ibrahim) cabang-cabang Muhammadiyah telah berdiri hampir di seluruh tanah air.


Sumber :
Abdullah, Darwis. 2008. Muhammadiyah : dulu, sekarang, dan masa depan. Jakarta : Midada Rahma Press.
Sucipto, Hery. 2005. Tajdid Muhammadiyah. Jakarta : Grafindo Khazanah Ilmu.

Dirgantara Wicaksono
Pembelajaran PKN di SD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar